Sains di Balik Food Estate Jokowi

Dyna Rochmyaningsih
6 min readDec 16, 2020

Presiden Joko Widodo yakin bahwa proyek lumbung pangan (food estate) yang sedang dikembangkan pemerintah tidak akan gagal seperti proyek food estate rezim sebelumnya. Dalam rapat terbatas tanggal 23 September 2020, Jokowi meminta para menteri untuk selalu menggunakan sains sebagai dasar dari pengembangan proyek. “Saya minta..betul-betul..sekali lagi..dikalkulasi secara matang..lewat sains lapangan,” katanya.

Sejak awal pengenalan food estate Juni lalu, pemerintah selalu mengatakan bahwa teknologi akan memastikan semuanya akan baik-baik saja. Namun beberapa ilmuwan menyatakan bahwa ada beberapa pertimbangan saintifik yang dilewatkan dalam proyek food estate Jokowi.

Mereka mengatakan bahwa pemerintah harus kembali mengkaji ulang rencana besar yang cukup ambisius ini. Jika tidak, kegagalan-kegagalan masa lalu akan kembali terjadi. Birokrasi badan pemerintah yang terlibat harus dipangkas dan semua keputusan harus didasarkan oleh analisis ilmiah yang melibatkan ilmuwan pemerintah dan non-pemerintah.

***

Oktober lalu, Jokowi mengunjungi desa Ria-Ria di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatra Utara. Lokasi ini adalah salah satu proyek food estate yang tanahnya disebut-sebut sebagai tanah yang subur. Pemerintah setempat menyebutnya sebagai lokasi yang “virgin, belum pernah dikelola sebelumnya,”. Dalam kunjungannya Presiden mengatakan bahwa kentang, bawang merah, dan bawang putih adalah komoditas yang dibudidayakan disana. “Kita lihat nanti hasilnya dalam waktu 2–2.5 bulan,”.

Lahan yang belum dikelola di dataran tinggi Humbang Hasundutan. Credit: Isner Manalu

Namun Budiman Minasny, professor ilmu tanah dari Universitas Sydney, tidak begitu yakin hasil panen di desa Ria-Ria akan memuaskan sang presiden. “Tipe tanah disana adalah tufa asam yang keras dan dangkal,”katanya. Jenis tanah ini berasal dari abu letusan Gunung Toba yang mengeras, mengandung tingkat keasaman yang tinggi, kayak silica, dan miskin hara. Kentang membutuhkan tanah yang gembur sedangkan bawang merah dan bawang putih membutuhkan tingkat keasaman yang netral untuk bisa tumbuh dengan baik. Di samping itu, Budiman mengatakan balwa lahan yang baru dibuka akan rentan erosi dan topsoil yang kaya akan bahan organic akan hilang kalau tidak dilakukan teknik konservasi.

Isner Manalu, warga lokal yang mengurus lahan kopinya sendiri di Kabupaten Humbang Hasundutan, membenarkan hal ini. Ia mengatakan bahwa tanah di daerah Batak Toba memang keras dan tidak subur. (Berbeda dengan daerah Batak Karo di Berastagi yang memiliki tanah yang subur di sekitar Gunung Sinabung dan Sibayak). Untuk mengakalinya, dia bilang, warga Batak Toba harus mencampur tanah dengan pupuk organic yang berasal dari kotoran binatang. “Nenek moyang kami tahu betul dengan hal ini. Mereka bilang Sinur na pinahan gabe na ni ula (berkembangbiaklah ternak..maka melimpahlah hasil panen,” katanya.

Tanah tufa asam. Keras dan kaya silika.

Budiman menduga mungkin keputusan untuk menjadikan desa Ria-Ria sebagai lahan percontohan food estate adalah keputusan yang bersifat top-down dari pemerintah. “Perkiraan saya semua ditetapkan dari Jawa, karena mereka tidak mengenal kondisi tanah di Humbanghas. Mereka mengira sama seperti kondisi di Jawa, [bahwa] tanah pegunungan vulkanis semuanya subur,”ujar Budiman yang tumbuh besar di Sumatra Utara.

Namun Husnain, Kepala Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), yang berada dibawah Balitbang Kementrian Pertanian, membantah hal ini. Ia mengatakan bahwa usulan ini berasal dari pemerintah daerah. Seperti yang tertera dalam website Kementan, Juni lalu, Menteri Pertanian Yasin Limpo berkunjung ke Desa Paruluhon di Kabupaten Humbanghas. Ditemani Bupati Humbanghas, Dosmar Banjarnahor, Mentan melihat aktivitas pertanian di lahan tersebut dan langsung menyimpulkan bahwa lahan Humbanghas sangat subur. Banjarnahor pun menambahkan bahwa masih tersedia 50000 lahan tidur yang potensial di Humbanghas.

Namun tidak semua lahan di kabupaten Humbanghas sama suburnya. Citra satelit dari Google earth menunjukkan bahwa Desa Paruluhon yang dikunjungi Mentan berada di dataran rendah. Menurut Budiman, lokasi ini memiliki tanah yang lebih cocok untuk pertanian akibat erosi yang berasal dari dataran tinggi. Berbeda dengan desa Ria-Ria yang berada di dataran tinggi, tufa asam masih mendominasi sejak Gunung Toba meletus 75000 tahun lalu.

Desa Parulohan dan Ria-Ria berada di ketinggian berbeda

Husnain mengakui bahwa tingkat kesesuaian lahan di lokasi food estate ini adalah S3 atau “Sesuai Marjinal”. Menurut pedoman yang disusun BBSDLP sendiri, lahan S3 ini memiliki “ faktor pembatas yang berat yang akan berpengaruh terhadap produktivitas,”. Namun Husnain optimis bahwa dengan teknologi tertentu, lahan bisa menjadi produktif. Ia mengatakan bahwa pengembangan food estate di Humbanghas akan dilaksanakan bertahap. “Tahun kedua akan focus ke penataan lahan agar konservasi tanah bisa lebih baik,” katanya.

Dalam pandangan saya, kasus di Humbanghas menunjukkan bagaimana masukan-masukan ilimiah (scientific input) tidak memiliki alur yang jelas dalam proses pengambilan kebijakan. Bagaimana Jokowi dan Mentan bisa memutuskan Desa Ria-Ria yang tidak subur sebagai proyek percontohan food estate? Husnain mengatakan bahwa keputusan ini berasal dari Pemda, namun ketika saya menghubungi Balai Penelitian Teknologi Pertanian (BPTP) Medan, mereka mengatakan bahwa analisis tanah dilakukan oleh BBSDLP yang dipimpin oleh Husnain.

Pemerintah perlu kembali menempatkan Balitbang sebagai sumber data dan pertimbangan ilmiah. Dan juga, sangatlah penting bagi Presiden untuk mendengarkan masukan-masukan ilmiah dari ilmuwan yang berasal dari luar badan pemerintah. Misalnya ilmuwan-ilmuwan daerah yang berada di universitas-universitas lokal. Jika Presiden hanya mendengarkan suara para birokrat, tanpa mempertimbangkan sains, maka kita hanya akan mengalami kegagalan.

****

Proyek food estate juga berlangsung di Kabupaten Pulang Pisau di Kalimantan Tengah. Disini setidaknya 30.000 hektar lahan gambut dikelola untuk menjadi sawah. Dan ya, Presiden Jokowi yakin bahwa lahan yang pernah menjadi bagian dari Proyek Lahan Gambut (PLG) 1 Juta Hektar Suharto ini akan menuai padi yang tumbuh subur di bawah pemerintahannya.

Salah satu strategi utama dalam pengembangan budidaya padi di lahan gambut adalah penggunaan varietas-varietas unggul. Yudhistira, pemulia tanaman di Balai Besar Padi, pusat riset yang berada di bawah Balitbang Kementan, mengatakan bahwa pihaknya telah mengembangkan berbagai jenis padi yang bisa ditanam di lahan food estate. Saat ini, di lahan seluas 1200 hektar yang dikembangkan Kementan, setidaknya ada 5 varietas yang ditanam: Inpari NutriZinc, Inpari 30, Inpari 39, Inpari 32, Inpari 42, Inpara 8, Inpara 9, dsb. Masing-masing varietas ini, kata Yudistira, memiliki kombinasi keunggulan masing-masing. Misalnya kuat bertahan hidup di gambut yang asam, produktivitas tinggi (sampai 9 ton), ataupun tahan penyakit.

Saya bertanya pada Yudistira apakah lahan di Pulang Pisau saat ini menjadi lahan eksperimen. Sebuah proyek besar pemerintah harusnya memiliki satu atau dua varietas yang sudah cukup teruji tanah asam, tahan penyakit, dan memiliki produktivitas tinggi. Namun Yudistira mengatakan “Tidak, semua varietas ini sudah diujikan di lahan petani sebelumnya,”. Ia juga mengatakan bahwa semua varietas ini terlihat tumbuh dengan baik di atas lahan gambut di Pulang Pisau. “Hanya Inpari 42 yang terlihat keracunan, namun sy kira itu tidak signifikan dan tidak mempengaruhi hasil,” katanya.

Namun Prof. Dwi Andreas Santosa, seorang professor bioteknologi tanah di IPB mengatakan bahwa varietas2 unggul ini hanyalah salah satu syarat akan keberhasilan. Untuk mendapatkan proyek pertanian yang sukses, pemerintah perlu menegakkan setidaknya empat pilar utama, yaitu: kualitas tanah dan agroklimat, infrstruktur (termasuk tata kelola air), teknologi budidaya, dan aspek ekonomi. “Jika kita mengabaikan satu faktor saja, pasti gagal,” katanya. Penanaman varietas unggul, katanya, baru memenuhi aspek teknologi budidaya. “Walaupun varietasnya tahan di lahan gambut, produktivitasnya pasti rendah. Nah sekarang, petani mana yang mau berjuang untuk gagal?,” katanya.

Pro. Santosa mengatakan bahwa semua proyek food estate dalam 25 tahun terakhir berakhir gagal. “Seringnya sih karena keempat pilar tersebut semuanya diabaikan,”katanya. Tahun 1996 Suharto membuka 1.4 juta hektar lahan gambut untuk sawah, dan itu adalah kesalahan yang maha besar. Lahan gambut yang terbuka dan kering telah menyebabkan bencana lingkungan terbesar yang terjadi secara berkala. Ya, kebakaran lahan dan kabut asap tebal yang beracun yang menyelimuti Asia Tenggara di tahun 1997, 2015, 2019. Tahun 2011 pun SBY memutuskan untuk mencoba proyek food estate namun tetap juga gagal. Yang terakhir di Merauke, food estate juga gagal. Sy bertanya kepada Prof. Santosa mengapa pemerintah masih juga naif untuk kembali merealisasikan food estate, “ya gak tau, sudah diperingati berkali-kali koq,” katanya.

***

Terlepas dari semua diskusi ini, pemerintahan Jokowi nampaknya tetap optimis bahwa teknologi akan membuat proyek food estate kali ini menjadi sukses. Perlu diakui, bahwa setiap kementerian, termasuk Kementrian Pertanian dan Kehutanan, memiliki peneliti2 yang mumpuni di bidangnya, seperti Husnain dan Yudhistira. Kementan telah mengembangkan varietas2 unggul, mengembangkan traktor rawa, BRG telah mengkaji proses rehabilitasi lahan gambut, dan KLHK telah mencoba untuk mengkaji sistem community-based economy untuk mengembangkan food estate di kawasan hutan Kalimantan Tengah.

Namun, dalam pandangan saya, melakukan penelitian dalam litbang kementerian saja belum cukup untuk bisa mengatakan bahwa proyek ini bersifat inklusif atas sains. Perlu adanya transparansi dari pemerintah untuk mengkomunikasikan setiap penggunaan sains dan teknologi dalam setiap kebijakan terkait food estate. Sungguh sayang jika sains digunakan sebagai formalitas saja tanpa adanya implementasi yang nyata. Jangan sampai kasus Humbang Husundutan terjadi lagi, dimana keputusan telah diambil tanpa berdasarkan sains yang valid, dan juga tanpa sepengetahuan ilmuwan di litbang sendiri.

--

--