Sains dan Keberadaan Tuhan

Dyna Rochmyaningsih
4 min readFeb 16, 2024

Dulu dengan bangga saya mengatakan bahwa saya adalah seorang Muslim yg rasional. Jika ada yg bertanya, “do you find any conflict between science and your faith,”, saya akan menjawab dengan tegas “No,”. Meski pandangan saya tidak berubah sampai saat ini, pada saat itu saya merasa ketegasan saya tidak didasari oleh sesuatu yang saya pahami betul-betul dalam hati saya.

Tanpa saya sadari, ternyata pandangan saya selama ini adalah world-view para ahli filsafat Islam yg dipengaruhi oleh filsuf Yunani yg terkenal, Aristoteles. Pandangan itu, bagi saya saat itu, sangatlah ideal. Tuhan menciptakan alam semesta pada awalnya. Dia adalah Sebab Pertama. Dia berada di luar ruang dan waktu. Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini kemudian berjalan dalam sebab akibat alamiah. Peristiwa A menyebabkan peristiwa B, pertistiwa B mengakibatkan peristiwa C, dan begitu seterusnya dalam rangkaian sebab akibat yg panjang. Seperti serangkaian kartu domino yang jatuh terus menerus tak berhingga. Para filsuf seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, berpendapat bahwa Tuhan tidak ikut campur dalam sebab akibat alamiah ini. Oleh karenanya, mereka menganggap mukjizat2 dalam Al Qur’an sebagai sebuah metafora, alih-alih kejadian yg benar2 terjadi.

Namun, saat saya mempelajari asal muasal kehidupan, Tuhan selalu menampakkan diriNya pada saya. Dia tidak berada di luar ruang dan waktu. Dia menampakkan dirinya saat saya mempelajari kondisi awal bumi yg bagaikan neraka (The Hadean Earth), dan saat meteor2 menghujani bumi (Late Heavy Bombardment). Dan yg paling penting, di suatu waktu saat molekul-molekul yang tidak hidup berubah menjadi hidup (abiogenesis). Saya mencoba untuk menekan pemikiran saya mengenai peran serta Allah secara langsung dalam pembentukan kehidupan di bumi. Saya takut terjebak dalam “God in the gap”, dengan begitu (kata banyak orang), saya ikut menistakan Tuhan.

Hampir setiap hari, siang dan malam saya memikirkan misteri asal muasal kehidupan ini. Para ilmuwan saling “berkelahi”. Carl Sagan mengatakan bahwa di awal2 umur bumi (4.5–3.5 milyar tahun lalu), matahari tidak bersinar secerah hari ini, energinya tidak cukup untuk memungkinkan adanya kehidupan (The Faint Young Sun). Bumi seharusnya menjadi bola salju raksasa. Namun bukti geologi (zircon) menunjukkan bahwa bumi sudah diliputi samudera sejak 4 milyar tahun lalu dan bukti mahluk hidup pertama ada setidaknya di usia 3.8 milyar tahun lalu. Itu baru satu paradoks. Paradoks lainnya adalah mengenai pembentukan RNA, entitas kehidupan yg paling sederhana. Bagaimana RNA bisa terbentuk pada awalnya? Bagaimana dia bisa menjadi sumber informasi sekaligus katalis yg menggandakan dirinya sendiri? Para ilmuwan terpolarisasi dalam pertanyaan “ayam atau telur” yg lebih dulu ada.

Sebuah teori baru yg kontroversial muncul akhir2 ini. Namanya Assembly Theory. Secara sederhana, teori ini mengatakan bahwa molekul komplekss kehidupan memiliki sejarahnya, dari molekul sederhana menjadi molekul kompleks. Di akhir semester musim gugur, hal itu juga saya pikirkan. Mungkin peralihan dari molekul sederhana ke molekul kompleks adalah rangkaian sebab akibat alamiah yang berujung ke Sebab Pertama. Namun, para ilmuwan ini, bisa ditebak, menolak untuk berbicara apapun tentang Tuhan. Assembly Theory juga tidak bisa menjawab dengan jelas bagaimana molekul2 yg nampak sederhana sebenarnya adalah hasil dari rangkaian metabolisme maha rumit (metanogenesis misalnya).

Libur musim dingin datang dan sy tidak bisa berhenti memikirkan tentang Tuhan dan asal muasal kehidupan. Sesuatu kemudian terjadi. Di Harvard Square, saya bertemu dengan seorang ahli filsafat Turki yg sedang menghabiskan waktunya di Harvard sebagai Visiting Scholar. Sy pun bertanya mengenai peran sebab akibat alamiah dalam sains asal mula kehidupan. Dan dia bertanya “what is the cause of a living molecule?,” Jujur syaa bingung menjawabnya. Namun kemudian menyebutkan molekul gula (C6H12O6) sebagai contoh. Saya bilang penyebab dari molekul itu adalah H20 dan CO2. “No,” katanya. Oya, saya berpikir lagi, agar oksigen dan karbondioksida menjadi molekul gula, ia perlu klorofil dan energi yg ter-eksitasi. “No,” katanya lagi. Oya benar juga, kata saya, bagaikan metanogenesis, fotosintesis juga rangkaian reaksi kimia maharumit. Tidak ada sebab-akibat yg sederhana.

Sang filsuf kemudian menawarkan saya Turkish delight. Sambil makan coklat/permen ini, dia bertanya. ‘What do you think is the cause of a Turkish delight?” “Why does it have a rectangle shape?” Saya lalu bilang, yah yang buat maunya bentuknya persegi panjang. “Exactly, the candy maker is the productive cause of this Turkish delight,” Sang flisuf ternyata mempelajari aliran teologi yang menentang sebab-akibat alamiah Aristoteles. Ya, ini adalah pandangan ahli kalam yg terkenal dibawa oleh Al Ghazali. Menurut mereka, sebab dari semua kejadian di alam semesta adalah Allah. Namun, bukan serta merta mereka anti-sains. Hukum alam dan penjelasan saintifik dari sebuah kejadian adalah kebiasaan Allah (sunnatullah) dalam mencipta segala hal yang ada. Dan seperti halnya Turkish delight persegi panjang, segala sesuatu di alam semesta ini contingent (berpotensi utk meliki ciri dan sifat apa saja, tergantung kehendak Allah sbg productive cause).

Saya kemudian mengaitkan diskusi ini dengan pertanyaan saya mengenai asal mula kehidupan. Ternyata selama ini, metodologi dan pertanyaan riset tersebut bermasalah juga secara filosofis karena mereka mendasarinya dengan sebab alamiah yg sederhana. Oleh karenanya mereka terjebak dalam pertanyaan RNA dulu atau protein dulu, atau pada sebuah garis imajiner dimana evolusi Darwinian bisa bekerja (Darwinian threshold). Padahal buktinya, alam semesta tidak bekerja sesederhana sebab akibat alamiah yg berlangsung dalam waktu yang linear.

Saat menunggu bus di terowongan Harvard Square tunnel, saya memandangi mosaic kaca yang berkilauan di salah satu bagian dindingnya. Ternyata, realitas bukan hanya tentang kejadian2 yang berlalu seiring aliran waktu. Misteri yang terpenting pun bukan hanya berada di masa lalu. Tetapi juga saat ini, tentang bagaimana saya memandangi kepingan biru berkilauan di mosaik terowongan itu. Ada Tuhan di balik persepsi indera penglihatan saya. Atom2 mosaik yg memantulkan cahaya ke dalam bola mata saya, menembus masuk menuju retina yg terhubung dengan sel2 saraf. Aliran listrik itu berloncatan ke dalam saraf, membentuk persepsi bernama realitas.

Seketika bulu kuduk saya berdiri. Saya merinding karena takut dan juga karena haru. The Lord of the Worlds, Rabbul Alaamiin, berada dekat sekali. Bis saya datang. Saya masuk dan melangkah. Kali ini dengan penuh kesadaran. Saya kemudian duduk di kursi biru yg kosong, memaasang headset saya, dan sy pun memutar lagu Dewa: Satu.

--

--