Menjadi Anti-Sains

Dyna Rochmyaningsih
3 min readDec 7, 2020

Kemarin saya dikritik oleh suami sy karena sy telah menjadi anti-sains.

“Kenapa sih kamu, yang selalu mengedepankan data dan fakta, sekarang bersikap gak ilmiah?”

Suami sy menanyakan hal itu setelah saya “ngomelin” dia karena gak makan “normal” 3x sehari. Suami sy biasanya makan satu-dua butir kurma untuk sarapan, lalu makan siang dan makan malam dengan porsi nasi yang sedikit (menurut saya). Nah, kemarin dia tidak makan apa2 sampai dia makan martabak di jam 10 pagi, kemudian makan sepotong ayam di jam 14.30, makan 1/4 nasi McD di jam 17.00, dan sepertinya tidak makan apa2 lagi di waktu malam.

I don’t think that’s a good life. Namun suami sy berkata.”Coba kamu cek, sepotong martabak bangka itu isinya apa aja dan ada berapa kalorinya. Cek juga apakah jumlah kalori itu sesuai dengan berat tubuhku,”

Oh my, saya hanya diam dan berkata, “Untuk apa dihitung2 seperti itu. semua orang disini makan 3x sehari dan mereka sehat2 aja tuh,” dan kemudian suami sy pun menanyakan pertanyaan pembuka di atas. Dia kemudian menantang apakah adalandasan ilmiah dibalik “makan nasi”, “makan 3x sehari”, dan berbagai hal yang kita anggap normal lainnya. Memang nenek moyang kita dulu gak pernah makan nasi 3x sehari, kita telah dibutakan oleh budaya yang mengharuskan kita makan nasi dengan jumlah tertentu. Dan sebenarnya secara metabolisme itu sangat boros.

Berapakah jumlah kalori dalam sepotong martabak? Image credit: Nyomot di Google

Tapi sy rasa segala penelitian dan angka2 itu menjadikan hidup kita kaku dan tidak menarik. Apa nikmatnya menghitung jumlah kalori di dalam piring kita setiap kali kita mau makan? Kecuali jika kita mau diet ya dan berkomitmen untuk itu. Namun, untuk apa sih kita menggantungkan hidup yang tidak pasti ini pada angka2 yang pasti? Bukankah segala kejadian, baik itu kejadian reaksi kimia dalam tubuh kita, semua sudah diatur yang Maha Kuasa? Atau mungkin, jika Anda seorang ateis, kata2nya bisa seperti ini: “Bukankah setiap kejadian, termasuk reaksi kimia dalam tubuh kita, dipengaruhi oleh faktor2 tak berhingga karena setiap proses itu tak pernah independen dari proses lainnya?,”

Ayah saya (semoga beliau terus sehat),selalu minum teh manis hampir 3x dalam hidupnya, dan ketika berangkat haji beliau ditemukan tidak mengidap diabetes. Dan kemudian tetangga sy dulu, seorang ibu yang rajin berolahraga dan makan makanan sehat, ternyata meninggal dalam usia muda karena kanker paru2. Selalu ada faktor lain yang tidak bisa kita kontrol sebagai manusia dengan pengetahuan yang terbatas. Dan di tengah hidup yang singkat ini, kita harus menikmati kehidupan dan rezeki yang telah Allah berikan. Karena pada akhirnya kita semua akan mati toh.

Mungkin pandangan ini berbahaya, fatalis, dan menyesatkan. Mungkin benar kata suami sy bahwa sy telah bersikap tidak konsisten dan menjadi anti-sains. Tapi sy pikir, dalam skala individu, itu merupakan hal normal khas manusia. Bukankah kita semua bertindak dan mengambil keputusan2 dalam hidup tanpa selalu menggunakan logika? Bukankah seringkali manusia memilih karena alasan emosional, — cinta, kemarahan, ketakutan? Bukankah itu yang menjadikan kita manusia? Semua hal akan menjadi berbeda jika kita adalah seorang robot atau mesin yang dilatih untuk mengambil keputusan.

Kita lihat saja contoh “kebebalan2” manusia (termasuk saya terutama). berikut ini:

  1. Sudah tahu beberapa perusahaan sawit itu mengakibatkan kerusakan lingkungan, tetapi tetap aja makan gorengan.
  2. Udah tahu saos bakso itu punya pewarna yang karsinogenik tapi tetap saja makan bakso (kalau MSG, sy sudah punya landasan ilmiah itu sah2 saja dlm jumlah sedikit, haha)
  3. Sudah tahu virus korona meluas, tapi tetap saja keluar rumah (sy kemarin keluar mau beli peta utk sekolah anak)

4. dst…

It’s just life. But……..

Tindakan anti-sains itu “benign” dan “oke2 aja” selama tindakan itu tidak mempengaruhi kemaslahatan orang banyak. Dalam hal ini, pengambil kebijakan (misalnya Menteri Kesehatan), tidak bisa menjadi anti-sains dan menggantungkan keputusannya pada emosi dan kejadian2 acak dalam kehidupan. Karena apa? karena ia memegang tanggung jawab 250 juta jiwa rakyat Indonesia. Apakah kita akan menggantungkan itu pada kenyamanan dan emosi kita? Tentu saja tidak. Contoh lain adalah perusahaan yang mau membangun bendungan tanpa memperhitungkan kondisi geologi di lokasi. Untuk mengambil keputusan, kita memerlukan angka2 dan analisis yang tepat, karena bendungan adalah bentuk fisik yang terhitung oleh fisika. Tentu saja ada faktor2 tak terhingga lainnya disini, namun sains telah mengajarkan kita bahwa perilaku benda mati di bumi patuh pada hukum2 alam yg telah kita pelajari. Jika kita mengabaikan sains dan data, maka sudah pasti kita mempertaruhkan nyawa orang banyak di sekitar lokasi bendungan tersebut.

Demikian kiranya pikiran saya siang ini.

--

--