Kematian dan Etika Teknologi

Dyna Rochmyaningsih
3 min readMar 9, 2021

Teknologi tak akan pernah bisa membebaskan manusia dari kefanaan dirinya. Meski manusia telah mampu untuk mencipta, menghidupkan mereka yang pernah mati untuk kembali ada, mereka tak akan pernah mampu untuk mengembalikan apa yang pernah ada. Karena memang kefanaan adalah hakikat manusia.

Photo by The New York Public Library on Unsplash

Saya mendapatkan kesimpulan tersebut setelah berbincang dengan anak saya yang pertama.

“Mah, kalau orang yang udah meninggal, sel-sel tubuhnya masih bisa tumbuh gak?”

Awalnya ini adalah pertanyaan mudah yang bisa dijawab dengan beberapa kalimat saja. Namun ternyata ini adalah sebuah awal diskusi yang menyenangkan.

“Ketika manusia mati, seluruh sel-sel tubuhnya mati. Artinya sel-sel ini berhenti bekerja. Berhenti mengolah makanan untuk menjadi energi. Energi ini dibutuhkan oleh sel untuk memperbanyak dirinya. Jadi, kalau selnya mati, ya dia gak tambah banyak,”

Namun, sy kemudian menambahkan.

“Lain halnya dengan DNA nya ya. Itu bisa di ekstrak dan masih bisa bekerja dengan baik jika ilmuwan mau mengkloningnya,”

“Apa itu kloning?,” tanya anak saya

“Membuat mahluk hidup di laboratorium dengan berbekal materi DNA saja. Misalnya orang yang sudah mati kita ekstrak DNAnya, kemudian kita masukkan ke dalam sel telur di lab. Sel telur yang sudah dimasuki DNA orang mati ini kemudian ditanam di rahim seorang perempuan dan dia akan melahirkan bayi dengan susunan DNA yang sama dengan orang mati tersebut. Misalnya mama suatu saat meninggal, DNA mama diambil, jika itu dikloning, maka akan lahir bayi dengan susunan DNA seperti mama,”

“Ada jerawatnya juga?,” tanya anak saya :))

“Tergantung. Kalau bayi itu tumbuh besar dan dia tidak membersihkan wajah, ya mungkin akan jerawatan kayak mama. Tapi yg jelas, kulitnya pasti berminyak,”

“Koq mama bisa tahu?,” tanyanya

“Karena kulit berminyak itu sepertinya diatur oleh susunan DNA. Tapi jerawat itu dipengaruhi juga oleh lingkungan dan makanan. Kan yang membentuk mama menjadi mama bukan hanya DNA mama, tetapi juga lingkungan,”

“Oh iya ya kan,” ujarnya

“Tapi sampai sekarang kloning manusia gak boleh dilakukan sih,”

“Lho, kenapa mah?”

“Karena pertimbangan etika,”

“Apa itu etika?”

“Akan ada banyak konsekuensi atau akibat2 yang mungkin tidak kita inginkan. Misalnya saja mammoth. Manusia bisa mengklon mammoth. Tapi untuk apa? hewan tersebut tinggal di zaman es. Apa yang terjadi jika kita “hidupkan” dia di zaman ketika bumi memanas?, Apakah baik? Etika itu pertimbangan baik dan buruk”

Anak sy kemudian bermain bersama kucing. Meninggalkan saya tenggelam dalam pikiran. Betapa lemah teknologi yang kita miliki di hadapan moral dan emosi kita. Sebenarnya kloning dan gene editing di manusia sudah sangat mungkin terjadi, tetapi apakah kita siap dengan konsekuensinya? Lagi-lagi manusia dihadapkan akan moral.

Akankah suatu saat manusia bisa dengan mudah menghidupkan mereka yang telah meninggal. Akankah rasa kehilangan dan rindu yg mendalam melebur dengan teknologi yang ada? Akankah manusia-manusia klon ini bersifat dan bertindak sama dengan mereka yang mereka rindukan? Ternyata tidak, karena susunan DNA bukan hanya yang menjadikan kita “kita”. Ada lingkungan, nutrisi, dan kisah hidup yang turut serta membentuk karakter dan kepribadian kita.

Suatu saat nanti, ketika kita merindukan tawa orang-orang terkasih yang pergi mendahului kita, kita akan sadar betapa fananya dunia. Teknologi dan rasionalitas tak akan membantu kita menemui mereka. Yang akan ada hanyalah penyesalan akan waktu yang hilang entah kemana.

--

--