Indahnya Menjadi “Yang Tak Sempurna”

Dyna Rochmyaningsih
8 min readJan 9, 2021

*Disclaimer: ini adalah sebuah tulisan panjang dengan struktur tidak beraturan. Tanpa riset dan penyuntingan. Semuanya didasarkan oleh ingatan yang berloncat-loncatan dan pemahaman saya terhadapnya sekarang*

Bebas. Lepas. Karena Tak Sempurna

Cerita tentang ketidaksempurnaan dimulai di suatu siang SD Negeri Bencongan 4 Tangerang.

Baru pertama kali saya merasakan kecewa karena saya berbeda. Saya, yg masih kelas 2 SD, mendapat nilai 2 untuk latihan matematika mengenai bilangan loncat. Semua teman2ku dapat 10, 8, dan hanya satu orang yang dapat nilai di bawah 5. Ya itulah saya.

Saya berjalan pulang dengan lesu. Saat saya membuka pagar rumah, Bapak sedang menggergaji kayu. Saya bercerita tentang nilai 2. Beliau berhenti. Tanpa meletakkan gergaji, satu tangannya meraih buku tulisku, dan kemudian dengan enteng tertawa, “haha gapapa, gak usah sedih, Bapak juga dulu dapat nilai 0,”.

Alangkah leganya saya waktu itu. Saya merasa bebas dan lepas dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah. Karena saya tahu orangtua saya akan menerima saya apa adanya.

Beberapa tahun berlalu. Saya masih di SD yg sama. Kali ini kelas 5. Dan saya mendapatkan ranking 2. Ya, kali ini ranking 2 dari 50an murid, bukan nilai 2 dari 48 murid yg mendapat nilai 10. Saya berlari kencang dari sekolah ke rumah untuk membawa kabar gembira. Bapak juga sedang menggergaji kayu. Aku bercerita dengan cepat dan penuh semangat. “Pak, dyna dapat ranking 2,”. Bapak berhenti sebentar dan kemudian berkata “Bagus,”. Ia pun melanjutkan pekerjaannya.

Dua kejadian itu adalah hal yang sangat berpengaruh dalam hidup saya sebagai pelajar dulu. Bahwa nilai bukanlah segalanya. Saya tidak pernah dapat hadiah (reward) jika saya mendapat nilai bagus. Juga, saya tak pernah dapat hukuman (punishment) saat saya mendapat nilai jelek. Saya jadi belajar, bahwa belajar adalah untuk dinikmati.

Santai. Yang penting belajar.

Di akhir kelas 6, saya mendapatkan NEM tertinggi di sekolah. Orang2 bilang saya bisa masuk SMP paling favorit se-kota Tangerang, tapi sy memilih di SMP yang dekat, meskipun masih terhubung dengan SMP favorit. Kemudian selama di SMP, saya selalu mendapatkan ranking 5 besar. Tapi saya ya santai aja. Tak pernah belajar karena beban.

Di akhir SMP, saya kembali mendapat NEM tertinggi dan juara umum. Semua orang bilang saya bisa masuk SMA paling favorit dengan nilai NEM tertinggi. Tetapi saya malah masuk SMA2. SMA ini cukup favorit dan banyak juga kawan2 yang pintar dan terbaik di sekolahnya. Lagi2, di SMA saya pun selalu dapat ranking 3 besar. Kakak adik dan beberapa orang bilang saya ambisius dan berkompetisi. Namun sungguh, saat itu saya cuma mau belajar saja. Gak pernah ada target.

Suatu hari saat classmeeting, seorang kawan yang juga ranking 1(dulu ranking 1 bisa 2 orang, saya sama dia waktu itu sama2 ranking 1),berkata “Duh, gw deg2an nih, gimana nanti nilai gw yaa..kayaknya gw tadi gak bisa,”. Sungguh saya heran dan tidak bisa memahami kegelisahan teman saya itu. Dan dia berkata “Lo koq santai aja sih Dyn?,” Sy katakan padanya kalau saya hanya belajar apa yang saya pahami, menjawab soal ujian yang saya bisa, dan kemudian menyerahkan semua pada Allah. (Ya, sy dulu sangat religious, benar2 berserah).

Saat lulus SMA, saya diterima masuk IPB. Kemudian teman saya bertanya, “Kenapa lo milih IPB, lo kan bisa masuk UI ITB UGM?”. Lagi2, saya hanya santai. Dibandingkan dengan teman2 saya yang ngambil bimbel sampai larut malam demi lulus SPMB, sy hanya santai saja. Tak memikirkan mau kemana nanti setelah lulus. Sy hanya menikmati apa yang saya pelajari. Bahasa Inggris, Sejarah, Biologi. Akhirnya saya masuk Biologi IPB dengan jalur undangan, passing grade nya cukup rendah untuk IPB (dibandingkan jurusan2 teknik pertanian). Tapi saya sangat senang dan bersyukur kuliah disini.

Kemudian di IPB, ternyata saya masuk pencilan atas lagi. Saya dapat nilai tinggi untuk tes bahasa inggris sehingga tidak perlu lagi datang kuliah ke matkul tersebut. Di ujian Sosiologi Umum, saya mendapatkan nilai paling tinggi di tingkat universitas. Saat hampir semua orang dapat nilai di bawah 60, saya dapat nilai 85. Teman-teman menghampiri, mengucapkan selamat, dan bertanya, “gimana sih dyn cara belajarnya?,” saya pun bingung jawabnya.

Saya pun bingung melihat teman2 yang begadang menjelang ujian, berkeringat dingin saat ujian, dan yang menangis saat mendapatkan nilai yang tidak ia harapkan. “mengapa menangis?,mengapa harus cemas? apa yang salah dari nilai jelek?” Saat itu, saya tidak bisa memahami itu.

Saya mendapatkan nilai C untuk kalkulus karena sy memang tidak bisa, dan sy ikhlas menerima ketidakmampuan saya. Itu menjadi satu2nya C di IPK saya. Saya mengakhiri masa kuliah saya dengan menjadi lulusan terbaik di Departemen Biologi.

Kegagalan yang Menekan dan Menakutkan

Setelah lulus kuliah, sy baru bisa merasakan apa yang dirasakan teman2. Kegelisahan akan hasil, ketakutan akan kegagalan, rasa malu karena tidak mampu.

Ya, saya melamar ke berbagai lowongan pekerjaan tapi tak pernah ada yang berhasil. Selama 2 tahun saya menganggur. Teman-teman mulai berbisik, “kalau Dyna aja susah dapet kerja, apalagi gw? Nyess, sedih dengernya. Ternyata semua teman2 saya cepat dapat kerja. Ya, mereka yang secara akademik dulu nilainya dibawah saya. Kemudian dari seorang teman, sy dengar seorang dosen juga berkata, “Kasian Dyna. Dia itu pintar tapi kurang beruntung,”

Itulah masa-masa gelap dalam hidup saya. Ternyata kegagalan itu memang sakit. Dan lebih sakit lagi jika kita diharapkan berhasil oleh orang2 sekitar kita. Karena track record sy yang selalu berada di pencilan atas di sekolah, orang2 berharap saya cepat dapat kerja, dapat beasiswa. Namun kenyataannya sy terkatung-katung melamar pekerjaan dan berakhir di penolakan. Sy masih ingat masa-masa itu ketika saya berada di bus kota melintasi kawasan Semanggi, Kuningan, dan daerah perkantoran lainnya di Jakarta untuk wawancara. Setiap kali saya pulang wawancara, hati saya berharap akan panggilan pekerjaan selama berminggu2, sampai akhirnya sy mengikhlaskan.

Ternyata inilah yang dulu dirasakan oleh teman2 yg menangis karena nilai jelek di ujian. Kegagalan itu menyakitkan mereka karena harapan di sekitar mereka. Harapan dari orangtua, orang2 di desa mereka, sekolah mereka dulu. Mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk berbuat yang terbaik. Entah itu amanah ataupun beban. Yang jelas dulu saya tidak memilikinya dan ketika lulus kuliah, sy mulai merasa itu ada dalam jiwa saya.

Saya kemudian berkata ke Bapak saya. “Pak, maaf, dyna belum dapet kerja. Belum bisa balas budi mama Bapak”. Dan Bapak saya berkata “Anak itu bukan sapi perah tau,”. Bapak bilang beliau menyekolahkan anak itu untuk diambil keuntungan darinya. Sekali lagi beliau membuat saya lega.

Menjadi Orang Biasa

Saat saya mengikhlaskan semua kegagalan, sebuah kesempatan datang. Mungkin memang begitulah alam semesta bekerja. Ribuan pintu tertututp agar kita bisa membuka satu yang diciptakan untuk kita.

Saya mendapatkan fellowship kuliah musim panas Harvard. Ini menjadikan saya pencilan atas lagi. Dosen Harvard yang bertanggungjawab dalam program tersebut menelpon saya untuk ngetes bahasa Inggris sy dan beliau terkesan. Beliau juga terkesan dengan tulisan2 saya di Jakarta Post.

Dua bulan di hutan hujan Borneo adalah sebuah peralihan. Sepulangnya dari sana, sy mendapatkan tawaran dari dosen Harvard untuk bekerja dengannya di Kalbar. Dia juga menawarkan agar saya mendapatkan tempat untuk S2 di Harvard. WAktu itu belum ada LPDP seperti sekarang. Dan tawarannya seperti tawaran emas.

Namun saya menolak kesempatan itu. Saya sudah berjanji pada calon suami sy kalau kita akan menikah setelah sy pulang dari Kalbar. Sy pun menikah di usia 23. Setelah menikah, saya dan suami tinggal di sebuah rumah kecil di ujung sebuah gang sempit di Jakarta Selatan. Saat itu pikiran saya sama seperti sy masih SD dulu. Santai aja, berserah sm Allah, dan hadapi apa yang terjadi.

Suami saya membelikan sebuah laptop, yang dengan itu sy terhubung dengan dunia luar. Sy mencoba menulis dan membangun jaringan. Alhamdulillah dapat kesempatan menulis dua bulan sekali di sebuah website internasional. Honornya 2jt per artikel. Saya sangat bersyukur saat itu. Sy bisa merawat anak sy dan mendapatkan uang tanpa keluar rumah.

Most of the time, saya adalah perempuan berdaster (sampai sekarang) dengan kerudung dan kaos kaki. Saya menggendong anak sy ketika belanja sayur. Sy tidak pernah berdandan. Sy menghabiskan waktu seharian di dalam rumah. Suatu ketika tetangga saya, orang Betawi asli, menawarkan pekerjaan untuk jadi pembantu di rumah gedong. Sy cuma bisa tersenyum ramah.

Kembali Menjadi Istimewa

Hari silih berganti sampai akhirnya saya menulis untuk Nature, majalah sains paling bergengsi di dunia. Para ilmuwan mulai menghubungi saya. Mereka semua takjub dan terkesima. Karena sebelumnya, hampir belum pernah ada byline orang Indonesia di majalah mentereng tersebut. Saya kemudian mulai menulis lumayan rutin.

Surat-surat mulai berdatangan. Salah satunya adalah dari ilmuwan senior Indonesia, Prof. Bambang Hidayat, ahli astronomi Indonesia yang terlibat dalam pembangunan Observatorium Boscha di Bandung:

Sdr. Dyna Rochmyaningsih Yth.,

Ijinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Bambang Hidayat (82 tahun), mantan GB Astronomi di ITB. Sekarang Aanggauta Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Saya terkesan kepada artikel Sdr.(Juni 2016) mengenai Research Dasar (yg sepenuhnya saya amini), dan saya quote untuk presentasi saya di Yayasan Nusantara Bhakti.

Artikel Saudara mengenai the develooping worlds needs more than numbers (Nature 2 Februari 2017) sungguh bagus. Semoga Menterinya mengerti,-tidak hanya “mencetak” jumlah GB , dengan hasil hanya kepada kuantita saja tanpa memikirkan dan membarengi kualitassnya…Infrastruktur sains di Negeri kita, dalam PT, perlu diperbaiki.

Artikel2 Anda adalah pembuka mata, saya berbahagia banyak orang minta dicopykan artikel Anda, pada bulan Augustus yl ketika saya memberi ceraaamah.

Sekian dahulu, selamat bekerja dan selamat berpionir menggaungkan suara pikiran dan hati dari sektor ilmu dasar dan penelitian.

Bambang Hidayat..

Seketika saya menangis membaca email itu. Saat itu sy sedang didapur hendak memasak. Sy kemudian menghayati rencana yang Allah buat untuk jalan hidup saya. Saya merasa bersemangat untuk tetap bekerja di bidang jurnalisme sains.

Beratus-ratus pujian datang terus menerus semenjak itu. Dari kenalan baru, teman lama, keluarga, semua memuji saya, hingga saya merasa pujian ini adalah sebuah beban.

Saya takut apa yang saya tulis tidak memuaskan mereka. Saya benar-benar takut. Sy juga merasa bersalah karena saya tidak menuliskan sesuatu yang mereka anggap penting. Semua ini karena sy adalah seorang freelancer. Saya takut mereka akan kecewa. Saya takut.

Hal ini diperparah dengan Imposter syndrome yg saya punya. Beberapa editor sy selalu mengubah tulisan saya, tulisan saya dibilang berantakan, dan ketika terbit, semua orang memuji saya. Saya sudah katakan dalam beberapa kesempatan bahwa tulisan itu sudah diedit. Tapi tetap saja mereka memuji saya.

Saya rindu diri saya yang bebas lepas karena tak sempurna.

Menjadi Yang Tak Sempurna

Saya hanya ibu2 biasa yang tak sempurna

Tahun 2021 ini, saya memutuskan untuk menjadi diri saya yang dulu lagi. Saya akan melupakan beban dan bertindak karena dorongan dari dalam diri saya, bukan dari tuntutan orang lain. Saya ingin orang2 membaca tulisan saya bukan karena itu terbit di Nature atau Science. Tapi karena memang mereka mau membacanya.

Saya sekarang sadar bahwa kunci kebahagiaan adalah menerima kesalahan dan kekurangan diri. Dan dengan percaya diri mengatakan pada orang lain bahwa kita tidak bisa, karena pada akhirnya ada orang2 yang tersayang yang menerima diri kita apa adanya.

--

--