Antara Kegelapan dan Cahaya
Sebuah narasi untuk novel anak“The Tale of Desperaux”, karya Kate DiCamillo
Di suatu malam, saat saya selesai membacakan beberapa bab di buku Tale of Desperaux, anak saya Pesona (8 tahun) menangis keras. Tangisan itu bukan sekedar air mata yang mengalir lambat di pipinya. Tetapi tangis yang tampaknya menyakitkan, dadanya turun naik, suaranya melengking menahan kesedihan yang luar biasa. Air matanya mengalir deras. Sambil sesenggukan dia berkata patah-patah..“Roscuro…kesian kali dia….Princess Pea…jahat kali…” Ternyata cerita yang saya bacakan begitu menyentuh hatinya. Cerita itu memang sedih tapi saya tidak menyangka kalau dia akan menangis begitu keras.
The Tale of Desperaux adalah novel anak-anak karangan penulis berkebangsaan Amerika Serikat, Kate DiCamillo. Ini adalah buku kedua karangan Kate yang kami baca. Sebelumnya, kami membaca The Miraculous Journey of Edward Tulen. Buku ini juga membuat kami menangis berkali-kali karena pengalaman-pengalaman kami membersamai boneka kelinci sombong yang hatinya hancur berkali-kali sebelum menemukan arti kasih sayang. Meski banyak kesedihan di dalamnya, kami melihat kisah Edward sebagai kisah yang menghangatkan hati, membuat kami merasakan cinta dan harapan. Kami berharap cerita serupa ada di Tale of Desperaux, namun ternyata novel ini mengambil pendekatan yang –meskipun sama — lebih gelap.
Tale of Desperaux menyajikan realitas kehidupan yang begitu keji dan gelap untuk anak-anak. Ia menceritakan tentang bagaimana orang-orang di abad tengah dulu mengurung narapidana di ruang bawah tanah yang gelap, dingin, dan berbau busuk (dungeon). Di dalamnya, tidak ada apapun selain ratusan tikus-tikus besar (rats) dan dua orang narapidana. Salah satu narapidana itu dipenjara karena menjual anaknya yang masih berusia 5 tahun demi sebuah selimut, seekor ayam, dan beberapa batang rokok. Tikus-tikus besar merasa misi mereka adalah membawakan penderitaan bagi narapidana dengan menguyah selimut mereka ataupun memutus tali borgol mereka agar mereka hilang di kegelapan dan mati kedinginan.
Salah satu tikus besar, yang bernama Roscuro, mempunyai tujuan hidup yang berbeda. Karena tidak sengaja melihat cahaya sewaktu kecil, dia menjadi terobsesi untuk keluar dari dungeon. Singkat cerita, ia berhasil naik ke atas dan menyaksikan pesta meriah raja di istana. Karena begitu bahagia, tikus besar ini melompat ke atas lampu gantung hias (chandelier) di tengah ruangan agar bisa melihat cahaya yang begitu indah dan kebahagiaan yang mengiringinya. Namun nahas, seekor tikus besar tetaplah tikus besar. Princess Pea, putri sang raja, berteriak ketika melihatnya. “A rat! A rat!”, Roscuro merasa terhina dengan panggilan itu. Ada rasa jijik saat sang putri mengucapkannya. Apakah dia begitu hina? Dia kemudian jatuh ke bawah, ke dalam mangkok sup sang ratu yang kemudian meninggal karena terkejut.
Dan ini adalah bagian dimana Pesona menangis keras:
And he saw that the princess was glaring at him. Her eyes were filled with disgust and anger. “Go back to the dungeon” was what the look she gave him said. “Go back into the darkness where you belong.”
This look, reader, broke Roscuro’s heart.
Do you think that rats do not have hearts? Wrong. All living things have a heart. And the hearts of any living thing could be broken.
Setelah berhenti menangis, Pesona mengatakan bahwa dirinya akan menjadi vegetarian. Mungkin karena dia begitu mendalami bahwa setiap mahluk hidup itu memiliki hati. Setelah Pesona tertidur, sebagai orang tua saya bertanya-tanya, betapa besarnya pengaruh cerita pada anak-anak. Apakah Pesona mengambil nilai yang benar dari cerita tersebut? Apakah ini buku yang tepat untuk anak-anak seusianya.
Pertanyaan itu saya urungkan sampai saya membaca bab berikutnya mengenai anak usia 5 tahun yang dijual oleh ayahnya. Nama anak itu Miggery Sow, nama yang terinspirasi dari seekor babi pemenang lomba. Saya mulai curiga, mengapa Kate memilih karakter seperti ini? Apa yang dirasakan anak ketika dia mendengar ada seseorang yang namanya didapat dari nama seekor babi? Kegelapan semakin terasa ketika Kate menceritakan nasib Miggery Sow yang dijual ke seorang pria. Dia menjadi budak sejak umur 6 tahun, kupingnya selalu ditampar jika ia berbuat kesalahan. Karena dia ditampar setiap hari, ia menjadi tuli, kupingnya pun penuh luka seperti kembang kol. Mig ingin menjadi seorang putri, tetapi tidak ada yang peduli pada keinginannya. “No one cares with what you want”.
“I think this book is too dark for you,” kata saya pada Pesona. Saya kemudian melihat review di internet dan banyak orang tua yang mengatakan hal yang sama.
Namun keahlian Kate bercerita (the power of storytelling) mengalahkan kekhawatiran saya untuk menghabiskan buku ini. Saya dan (diam-diam) Pesona melanjutkan bacaan kami. Kegelapan demi kegelapan datang bertubi-tubi sepanjang jalan. Pengkhianatan, kekejaman, penghinaan, kesedihan. Tentang Mig yang memotong ekor Desperaux (pemeran utama yg belum saya ceritakan disini) dengan pisau dapur, perintah ahli masak istana untuk membunuhnya meski dia terlihat sudah mati, Roscuro yang menyuruh Mig menodongkan pisau ke Princess Pea. Semuanya terasa sangat gelap dan menyeramkan.
Namun di akhir cerita, cahaya mulai terlihat sedikit demi sedikit hingga akhirnya mengalahkan kegelapan. Sejumlah tokoh mulai memaafkan apa yang dulu pernah menyakiti hati mereka dan rasa maaf inilah yang akhrinya membawa mereka ke dalam cahaya. Princess Pea akhirnya memaafkan Roscuro, Miggery Sow akhirnya menemukan seseorang yang peduli terhadapnya (yaitu Princess Pea), dan Desperaux memaafkan pengkhianatan ayahnya. Untuk menuju cahaya kebaikan seperti ini, dibutuhkan cerita yang begitu gelap, kompleks, dan mengaduk-ngaduk emosi. Dan bukankah itu yang terjadi di dunia nyata setiap manusia? Dan apakah kita harus menutup-nutupi kebenaran-kebenaran ini dengan cerita-cerita penuh kebaikan dan cemerlang?
“The world is dark, and light is precious. Come closer, dear reader. You must trust me. I am telling you a story,”
Ini adalah pertanyaan penting dalam filosofi pendidikan. Dalam pelajaran moral budi pekerti, anak-anak seringnya disuguhi oleh perintah-perintah kering: hormati guru, sayangi teman, itulah tandanya kau anak Budiman. Atau soal-soal pilihan ganda absurd seperti: “Jika ada temanmu yang kesulitan, kamu harus: a. membiarkan, b. membantu, c. melarikan diri. Atau nasihat-nasihat yang ada di dalam buku-buku agama, “bersihkanlah hatimu,”. Meski semua itu benar, anak-anak, yang alam pikirnya belum berkembang sempurna, akan kesulitan untuk mencerna nilai-nilai moral ini. Bisa saja membekas, bisa saja tidak.
Namun anak-anak sangat tertarik pada sebuah cerita. Mereka mendengarkan dengan seksama seolah-olah mereka mengalaminya juga. Seperti halnya anak saya Pesona yang menangis keras tadi. Karena “mengalaminya” sendiri lewat buku bacaan, dia bisa mengunyah nilai-nilai moral ini dan merelasikannya dengan kehidupannya di dunia nyata. Saat bicara tentang maaf dan pengampunan (forgiveness), dia teringat akan Desperaux yang memaafkan ayahnya yang telah berkhianat. “Iya betul, meski sudah sakit hati bangeeet, dia tetap bisa memaafkan,”.
Mungkin inilah tujuan cerita-cerita kegelapan dalam buku anak. Bukankah karena gelap kita bisa memahami apa itu terang?